Rabu, 27 Juni 2012

Maybe easy but it shouldn't be cheesy

Boleh murah tapi harusnya ga murahan. Itulah yang terlintas dipikiran saya sejenak saat mendengar ada tawaran paket diving di salah satu kota di Jawa Timur. Paket ini memang luar biasa murah. Bayangkan saja hanya dengan membayar seratus ribu rupiah, kita sudah bisa merasakan keindahan alam bawah laut di pantai pasir putih, di kota Situbondo. Saya yang kebetulan terlahir dengan budaya was was kelewat kaya, sulit untuk bisa meyakini profesionalisme penyelenggara diving tersebut. Sesampainya  di lokasi dan setelah beberapa kali berubah pikiran akhirnya saya putuskan juga untuk ikut. Ini memang bukan diving saya yang pertama, sebab sebelumnya saya sudah beberapa kali diving di beberapa tempat di Bali.

Sesampainya di pantai, kami semua dikumpulkan, lantas diberi sedikit (sekali) pengarahan. Mereka hanya memberitahu kami cara naik dan equalizing. Bagi saya sepertinya itu tidak cukup. Setelah selesai memberikan pengarahan kemudian saya bertanya, dimanakah letak dive suit kami, dan saya terkejut ketika mereka bilang bahwa penyelaman kali ini tidak menggunakan dive suit dan akan diving dengan pakaian renang kami saja. Bahkan sang instructor seolah mencoba meyakinkan kami bahwa menggunakan dive suit hanya akan membatasi ruang gerak (seriously). Dari sini saya makin yakin kalo operator tidak melakukan hal yang seharusnya, sebab dive suit itu sesungguhnya diperlukan guna melindungi tubuh kita dari perubahan suhu yang mendadak dibawah laut, menghangatkan tubuh selama penyelaman sekaligus melindungi kita dari gesekan karang dan atau hewan hewan laut lainnya baik yang sengaja atau tidak disengaja bersinggungan.


Dikarenakan keterbatasan tabung dan perlengkapan lainnya maka penyelaman kali ini dibagi menjadi dua kelompok. Saya memilih untuk menjadi peserta round pertama sebab menurut saya bila sudah yang kesekian saya hanya akan mendapatkan air laut yang kotor akibat round pertama. Setelah beberapa menit menyelam saya merasakan sedikit rasa sakit pada bagian telinga. Kemudian saya memutuskan untuk naik (up) dibantu oleh seseorang crew yang membantu mengawasi penyelaman. Okay kemudian menepilah saya. Saya tidak merasa kecewa karena walaupun tak banyak yang saya lihat dibawah sana karena memamng tidak banyak yang dapat dilihat, hanya beberapa kerumunan ikan dan terumbu karang yang mulai rusak namun setidaknya saya sudah dapat merasakan menyelam di bawah laut pasir putih, di kota yang sudah saya diami kurang ebih selama empat tahun belakangan ini.( romantisme yang berlebihan).Sedikit membandingkan dengan diving yang pernah saya rasakan di Bali, operator diving disana sangat professional. Mereka menyediakan peralatan yang lengkap untuk masing masing orang. Semua peralatan dibersihkan dengan baik, disterilisasi sehingga para penyelam tidak khawatir akan kebersihan alat alat yang mereka gunakan. Satu orang peserta ditemani oleh satu orang instructor, tidak seperti saat kemarin, lima orang penyelam hanya didampingi oleh dua instruktur.


Memang ironis, melihat betapa murahnya harga nyawa manusia. Bisa saja saya mendramatisir karena ternyata beberapa teman saya bersikap acuh atas hal ini. Jangan berharap terlalu banyak untuk sebuah harga seratus ribu, tapi bagi saya saya berharap tetap melanjutkan hidup dan nyawa saya saja hehehe. Seorang teman dari Malaysia bahkan mengatakan “ini adalah cara cepat dan mudah untuk menghasilkan uang”. But guys…seriously this is totally wrong. If they can’t provide the proper service, then they shouldn’t to it at the first place. It might be something easy but it shouldn't be cheesy. Anw seharusnya seorang rekan tidak perlu luka tergores karang bila dia memakai dive suit, dan seorang lainnya tidak perlu kehabisan oksigen di saat penyelaman bila  mereka memperhatikan standar penyelaman internasional.
 

Rabu, 20 Juni 2012

Bertindaklah seolah kita ini bersaudara

Okay, sudah berulang kali terjadi upaya klaim budaya yang dilakukan negeri sebelah dan kali ini tari Tor Tor dan Godang Sembilan yang mendapatkan gilirannya. Dua item budaya warisan masyarakat Mandailing di Sumatra Utara ini, kini sedang gencar menjadi bahan perbincangan. Modus kali ini dengan mengatakan masyarakat Mandailing di negeri jiran tersebut menginginkan tari Tor Tor dan Godang Sembilan dicantumkan pada daftar warisan budaya yang setara dengan tradisi lainnya, hanya sekadar upaya mendaftarkan tanpa bermaksud mengklaim. Hmm pandai sekali pak cik itu bicara, menghaluskan penggunaan bahasa. eufimisme yang naif. Sayangnya mereka tidak sadar bahwa nenek moyang mereka sebagian besar adalah masyarakat melayu Indonesia, jadi kalau mereka sekarang “pandai” tak lain karena nenek moyang mereka telah lebih dahulu pandai dan mengajarkannya.



tari Tor Tor diupayakan “didaftarkan dalam situs warisan budaya mereka. Upaya pendaftaran yang mereka lakukan ini adalah agar kemudian pemerintah negeri jiran mengeluarkan anggaran untuk memelihara kelestarian kedua item budaya tersebut”. Disini menariknya, setelah dana dikeluarkan, kemudian apa? layaknya tarian pendet yang kemudian mereka perkenalkan dalam kampanye pariwisata, tari Tor Tor pun akan menjadi sajian pariwisata di negeri ipin dan upin ini. Lantas semua ini untuk apa?  tentu saja guna mencitrakan Malaysia sebagai tempat dimana tari Tor Tor dan Godang Sembilan itu berasal.  

Kembali ke factor sejarah, disebutkan bahwa 60-70 persen masyarakat Malaysia bernenek moyangkan orang Indonesia yang dahulu datang ke negeri jiran tersebut atas berbagai alasan. Menyadari fakta ini seharusnya kedua negara ini hidup dalam kerukunan. Saling menjaga keharmonisan perasaan satu sama lain. Bagi saya, hal yang pantas dilakukan pemerintah Malaysia dalam rangka mengaspirasikan keinginan warganya adalah dengan menampung segala keinginan tersebut, namun tetap melakukan upaya hubungan internasional yang santun dengan Indonesia, paling tidak ajaklah nenek moyang mereka selaku pemilik asli budaya tersebut bicara, sebab mereka tentunya sadar bahwa apa yang mereka lakukan sekarang akan sontak mendapatkan reaksi yang beragam dari masyarakat Indonesia, Bertindaklah layaknya kita ini bersaudara.



Pertanyaan berikutnya adalah apakah budaya Malaysia yang merupakan serapan budaya Indonesia saja yang mengalami perlakuan semacam ini. Apakah kemudian mereka mengakui Barongsay sebagai tradisi budaya mereka juga, karena mereka memiliki banyak warga negara yang merupakan keturunan China, lantas apakah tradisi masyarakat India juga mengalami Klaim budaya sebab mereka pun memiliki banyak sekali warga negara keturunan India. Sepertinya saya tidakpernah mendengar hal itu terjadi. Entah karena mereka tidak ingin atau bahkan tidak acuh, sebab beberapa teman non bumiputera yang tinggal di Malaysia kerap mengeluh akan perbedaan perlakuan terhadap mereka. Mulai dari akses pekerjaan hingga edukasi. Bahkan seorang warga negara Malaysia keturunan India yang saya temui saat seperjalanan menuju Bali sempat mengutarakan bahwa ia terpaksa menguliahkan putrinya di Bali karena  akses pendidikan berkualitas di Malaysia sulit di tembus bagi warga keturunan (non Bumiputera).

Saya mencintai semua umat manusia. Mungkin terdengar klise, bagi saya keragaman adalah anugerah. Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Berbudaya  tentunya juga berarti memiliki perilaku yang sesuai dengan akar kekerabatannya. Sebagai bagian dari masyarakat Melayu,  saling santun menghormati satu sama lain adalah bagian dari budaya itu sendiri, maka marilah kita bertindak seolah kita memang BENAR bersaudara.
Seriously VISA..?

Banyak orang yang bertanya kenapa tidak ke Jepang, kenapa tidak ke Amerika, kenapa tidak ke negara negara di Eropa?. Jawaban saya sebenarnya cukup sederhana, karena di sana tidak ada saus sambal yang se-enak di Indonesia. Oke saya melantur, sebenarnya saya ingin mengunjungi daerah daerah yang saya sebutkan tadi, tapi entah mengapa, keinginan saya selalu berhasil dipatahkan ketika ingat keharusan mengurus VISA. VISA seperti kitra ketahui masih diperlukan bagi WNI yang hendak mengunjungi  negara negara lain, tertutama negara negara "adi kuasa" yang beberapa tahun belakangan ini sedikit kehilangan kedigdayaannya karena dihempas krisis ekonomi. (sukurin hehe).


Saya sedang tidak ingin berjibaku pada teori keimigrasian, saya pun malas menelaah apa sebenarnya tujuan negara-negara tersebut mengharuskan WNI untuk memohon VISA. Mendengar kalimat memohon VISA saja saya seperti alergi luar biasa. Seolah olah kita adalah warga negara kelas rendahan yang boleh di filter oleh negara lain seenaknya. Seorang teman pernah mengatakan bahwa ada makna “pengawasan” dibalik prosedur permohonan VISA. Kalau benar demikian kenapa berlaku diskriminatif, contohnya kenapa orang Indonesia kalau ke Eropa harus mengantongi VISA yang ditentukan subjektif, sementara warga negeri Jiran tidak. Apakah karena mereka termasuk negara persemakmuran Inggris? lantas apa pula relevansinya sejarah terhadap pengawasan. Emang ga ada apa orang negeri petronas itu yang bakal diam diam jadi pekerja gelap disana. Saya tidak hendak mengatakan “ada” tapi kembali pada konteks pengawasan, bukankah hendaknya pengawasan dilakukan pada semua orang dari negara manapun tanpa terkecuali. Selain itu kenapa di seputaran Asia Tenggara kita tidak perlu mengantongi VISA? Apakah ini artinya negara negara di Asia Tenggara sudah memiliki mekanisme pengawasan yang lebih canggih ketimbang negara-negara adidaya tersebut? sudah pasti jawabannya tidak.


Dari situasi sederhana ini saja saya merasa ada sisi nasionalisme yang masih harus kita jaga saat berkunjung ke negeri orang. Saya masih merasa belum perlu-perlu banget mengunjungi negara negara “sombong” yang masih memperlakukan kita sebagai warga dunia kelas rendahan kemudian membangun hubungan sub ordinasi. Saya juga merasa sudah tidak layak lagi mereka memfilter kita, sebab saat ini ekonomi kita sudah sangat maju, kita adalah salah satu  poros baru ekonomi Asia bahkan di dunia saat ini. Kita adalah salah satu negara dari sedikit negara yang memiliki ketahanan bursa terbaik, jadi buat apa menghabiskan waktu dan uang untuk urus VISA padahal kita kesana juga mau buang–buang uang. Bukankah demikian menurut anda.


Selasa, 19 Juni 2012


Menghempas batas, menghadirkan kebersamaan.

Keceriaan tak terhingga, melampui batas batas negara, menghempas segala keraguan menyatu dalam kompleksitas dan keragaman perbedaan. Menyisakan persahabatan, gelak tawa dan kenangan manis yang berkonspirasi membentuk kehangatan kebersamaan yang akan  selalu abadi tersimpan di relung jiwa. Ijen festival 2012 I’m here for you.


Bermula saat seorang kawan menyebarkan informasi tentang sebuah event internasional yang akan digelar di kota tetangga, saya kemudian mencari informasi lebih lanjut tentang acara tersebut.
“Okay…jadi judulnya adalah International Ijen Festival sounds good to me”. Kemudian saya kembali membaca konsep acara yang akan mereka gelar. “Language and Culture exchanges. Hmmm ah ini paling hanya sekedar Judul, sedikit skpetis lalu kembali mata ini menyusuri satu demi satu pemberitahuan tersebut. Peserta akan diinapkan di rumah warga setempat untuk saling berinteraksi, bertukar budaya dan bahasa woow keren neh, sontak saya kembali bergairah meskipun saat ini saya tinggal di kota yang kurang lebih memiliki kultur dan bahasa yang sama dengan masyarakat di Bondowoso, tapi selalu menyenangkan mendapatkan pengalaman baru.  Kami akan memilih 50 Peserta yang terdiri dari berbagai negara…apa? ada audisi neh ceritanya? haduh apalah daya jual saya ini ya Tuhan, saya pun kembali tak bersemangat. Mungkinkah saya terpilih, saya kan hanya sekedar petualang  tampan yang mulai menua..tentunya lebih banyak calon peserta diluar sana yang memiliki pengalaman lebih luas dari saya, dan mereka pastinya lebih menyenangkan. Tapi a men got to do what a men got to do right? kemudian saya kirimkan aplikasi saya.



Selang beberapa waktu saya melihat ada nama saya di deretan nama peserta yang lolos. Hmm mungkin itu Hendri yang lain (thanks to my parents yang tidak membubuhkan nama panjang dibelakang nama saya, emak bapak, u rocks). Masih ditengah keragu-raguan, saya tidak terlalu excited, sampai kemudian ada email konfirmasi ke surel saya. Cihuyyyyyyyy…Ijen I’m coming baby…wait for mePenantian yang cukup lama mulai dari pengumuman hingga ke pelaksanaan festival membuat saya hidup ditengah keresahan, resah bin galau, bukan hanya karena harus bertemu dengan peserta lain yang tidak lebih kece dari saya tetapi juga resah karena isu mutasi. Ya pekerjaan saya menunutut saya harus pasrah dimutasi kemana saja di seluruh Indonesia, so either you in or you out (halah kenapa jadi curhat). Back to the festive, lantas apa relevansinya mutasi kerjaan sama Ijen festival, hmm ada, bagaimana coba kalau saat pelaksanaan ternyata saya dimutasi ke luar kota, itu artinya saya harus menyesuaikan itinerary keberangkatan dan kedatangan saya setelah dan sebelum pelaksanaan. Tapi sekali lagi Tuhan memang selalu bersama hamba Nya yang tampan, semua terjadi begitu mulus. Okay now I’m soooo ready for the fiesta bring it on…


Malam kedatangan di Bondowoso, saya disambut oleh beberapa panitia di MTS Attaqwa Bondowoso. Mereka kemudian mengantarkan saya ke rumah Host saya. Thanks to mas mas panitia yang sigap. (Kalian semua bebatuan alias u guys are rocks). Penyambutan yang hangat dari keluarga mama Dycko membuat saya merasa semakin nyaman bahkan merasa seperti berada ditengah keluarga sendiri. Secangkir teh panas yang beliau siapkan menemani perbincangan saya malam itu bersama rekan rekan house-mates lainnya. Adalah Lesthia dari Jakarta dan Mary dari Italy yang saat itu menemani saya sepanjang malam, kami berbincang dan bertukar pikiran dengan liarnya. Pemikiran demi pemikiran terbidani dengan liarnya di tengah malam untuk kemudian menghantarkan kami segera menutup malam  yang semakin larut .



Mentari mulai semakin congkak menampakkan batang hidungnya. Udara dingin yang semula menyelimuti kota Bondowoso pun perlahan beranjak menjauh. Suara adzan subuh lantang terdengar. Kasak-kusuk penghuni rumah pun mulai terdengar, ternyata diluar sana mama Dyco sudah bersiap untuk berjumpa dengan yang maha tunggal. Keluarga Dyco memang keluarga yang religious, saya sedikit malu sebab saat mereka bergegas menunaikan shallat subuh, saya baru saja terjaga dan masih mengumpulkan “benak saya yang sempat berlarian kesana kemari terbawa mimpi mimpi saya. Okay kini saatnya saya menunaikan shallat subuh. Wah enaknya lokasi rumah mama Dyco adalah terletak persis di depan mushalla. Astaqhfirullah ternyata saya lupa memakai sarung terpaksalah saya kembali kerumah dan menjemput sarung terkece di dunia itu.Setelah menunaikan shallat subuh saya sempatkan sejenak berlari-lari kecil mengelilingi komplek perumahan. Segarnya udara di Bondowoso. Satu dua, satu dua,  satu dua, bisik saya seraya mengerakkan seluruh badan saya. What a refresing morning. 


Semua tampaknya telah terjaga, saya melihat Mary dan Lesthia yang telah siap untuk mengawali hari ini. mereka berdua berdandan cantik sekali, seolah memadukan segala keindahan wanita Asia dan Eropa. Lesthia yang menawan dengan batiknya dan Mary yang semakin terlihat memukau dengan gaun  berpotongan simple tapi elegan. Ya, hari ini kami para peserta akan menghadiri upacara pembukaan International Ijen Festival yang diselenggarakan di Pendopo Kabupaten Bondowoso. Upacara yang meriah sekali dan dibuka langsung oleh Bapak Bupati Bondowoso. Acara seremonial tersebut diakhiri dengan makan siang bersama Bapak Bupati. (Bapak Bupati…I think you are bebatuan aka rocks). Acara kemudian dilanjut dengan mengunjungi beberapa workshop dan pusat kerajinan di kota tape tersebut, kemudian seluruh peserta dibagi berdasarkan nativenya masing masing untuk kemudian melakukan perekaman suara disebuah stasiun radio. Konon rekaman suara inilah yang akan mengiringi kami sepanjang parade budaya yang akan diselenggarakan keesokan harinya.


Perekaman suara selesai, kami pun kembali ke rumah host masing masing untuk sejenak bertukar pakaian sebab setelah ini sebuah games telah menunggu kami. Games yang rupanya lebih seperti kesempatan berinteraksi antara sesama peserta ini memang memberi kesempatan untuk para peserta saling berkenalan. Selain itu, di games ini juga kami kemudian berbagi pengalaman dengan adik adik siswa MTS Attaqwa. Senang sekali melihat wajah wajah antusias calon pemimpin bangsa. Setelah letih seharian beraktifitas, nampaknya ibu kos tengah mempersiapkan satu kejutan lagi. Mama Dyco saat itu ternyata tengah berulang tahun dan mendapatkan hadiah berupa pesta kecil  dari sang suami. Kami pun kemudian berpesta sejenak. Menu malam itu antara lain kue ulang tahun yang bertenggerkan angka 54 diatasnya dan senampan besar nasi tumpeng. Yihaaa perfect, terus terang saat itu saya memang sedang lapar sekali. (Hehehe jangan bilang bilang ya). Seperti malam pertama kemarin saya terjaga dan kemudian bergegas mengambil wudhu untuk menunaikan kewajiban shallat subuh saya. Berjoging pagi selalu menjadi ritual pagi saya dimanapun saya berada, ya maklumlah saya kan makannya banyak, jadi olahraga juga perlu, ya ga mamy Magdalena a.k.a mamy MG?.


Selepas berolah raga pagi, saya melihat kembali perpaduan kecantikan Asia dan Eropa, saya lihat Mary yang tampak seperti dewi Italy yang bersinar dengan balutan gaun putihnya. Sedikit warna merah di bagian pinggang manis sekali dipadankan dengan bandana hijau, membuat Mary terlihat seperti Miss Italy Universe yang nyasar di Bondowso. Sementara disudut lain saya lihat Lesthia yang tampil chick dengan kebaya coklatnya, dibalut dengan kain batik berwarna coklat brondong di bagian bawah, dan sepatu kets benar benar memberi kesan berbeda akan kartini masa kini. Kemudian saya lihat Maretta, housemate saya lainnya yang baru bergabung di malam kedua, tampil dengan dandanan yang meriah khas peserta festival bergengsi. Mungkin latar belakangnya yang seorang penari membiasakannya tampil dengan kostum kostum yang menawan. Hihihi benar benar sebuah pemandangan pagi yang tidak boleh dilewatkan oleh laki laki manapun diseluruh dunia. Sementara saya, masih bercelana pendek lengkap dengan si sarung terkece di dunia saya yang saya lilitkan di bagian pinggang. Hehe. Life is indeed kind of weird.



Di festival ini seluruh peserta memang diharuskan membawa busana daerah dan mempersiapkan sebuah pertunjukkan dari daerah mereka masing masing. Untunglah saya berasal dari keluarga Padang, dimana pakaian adat untuk laki laki tidak sulit, bahkan cenderung sederhana. Saat itu saya hanya menggunakan baju koko lengan pendek modern lengkap dengan celana panjang (jangan sampe yang ini ga kepake bisa berabe urusannya) dan kain sarung khas keseharian laki-laki Padang. Sebagai asesoris saya tambahkan topi ala Malin kundang yang saya buat darurat dari dry bag..Taramm now I do look like ordinary Padang Men. Setelah berkumpul didepan MTS Ataqwa kemudian kami memulai pawai  memutari daerah sekitar alun alaun dan pasar Bondowoso. We’re so excited, warga setempat yang tak jarang tersenyum melihat tingkah konyol kami di jalanan, seolah memberikan semangat baru bagi kami, karena paling tidak kami telah berhasil memberikan tontonan yang menghibur. Apalagi dengan tingkah sok akrabnya seorang peserta asal Pakistan yang melulu menjulurkan tangannya untuk disalami dan kemudian membiarkan tangannya dicium oleh bocah bocah Bondowoso. Hahaha Amir gelo. Setelah lelah berparade, panitia telah mempersiapkan sebuah tempat untuk beristirahat sambil menikmati satu demi satu hiburan yang telah dipersiapkan. Menarik memang, sebab disinilah saya jadi tahu bahwa di Bondowoso pun ternyata ada kesenian singa wulung yang mirip dengan kesenian barongsai dari negeri China. Bedanya di sini barongsainya lebih heboh, manjat manjat tianglah, lompat lombat lingkaran apilah. Wah pokoknya si singa disini benar benar “sesuatuk” sekali.



Tepat pukul 12 tengah hari, kami semua bergegas untuk berganti pakaian heboh kami untuk segera meluncur ke kawasan perkebunan kopi di daerah jampit. Lokasinya yang terletak tepat di kaki gunung Ijen memberikan udara dingin dan segar yang tak pernah saya rasakan selama ini di kota saya. Sesampainya di perkebunan kopi, kami lalu dibawa untuk berkeliling mengunjungi pusat pengolahan biji kopi dan peternakan Luwak yang letaknya masih didalam komplek perkebunan kopi tersebut, dan tepat tengah malam kami semua berangkat menuju kawah Ijen. Yihaaaaa….time to hike baby.


Langit diluar masih kelam, hanya tampak titik titik bintang di kejauhan, udara dingin pun menusuk seluruh tubuh saya. Walau telah saya coba selimuti dengan berlapis lapis pakaian namun tetap tidak berhasil mencegah kehadiran dingin malam itu. Ditengah kantuk dan rasa malas beranjak dari tempat tidur, seluruh peserta dibawa menuju paltuding. Paltuding adalah titik awal penanjakan di kaki gunung Ijen, setelah menunggu beberapa saat kemudian seluruh rombongan diberangkatakan. Beratnya medan dan stamina peserta yang berbeda satu sama lain berhasil memecah kekompakan group diawal keberangkatan. Mereka yang berstamina prima seperti saya tentunya berhasil mendaki lebih cepat (duileee aseek). Ini memang bukan kali pertamanya saya mendaki si gagah Ijen, namun ini kali pertamanya saya mendakinya ditengah gelap dan dinginnya malam. Keberangkatan kami yang tengah malam ini bertujuan untuk dapat melihat api biru yang konon hanya ada saat tengah malam menjelang dini hari. Sesampainya di puncak gunung Ijen saya berhasil berjumpa dengan si cantik api biru tersebut. Walaupun tak berhasil menyapa lebih intim sebab saya hanya berhasil memandangnya di kejauhan. meski demikian tetap tidak mengurangi seksinya si api biru yang sudah lama saya impikan. Ijen memang luar biasa indah. Semua keindahan yang pernah saya lihat sebelumnya kembali terejawantahkan dalam bentuk yang berbeda. Sungguh luar biasa ciptaan mu ya Allah. Tidak lain hanya kekaguman akan besarnya kuasa Mu yang Kau pertontonkan malam ini.Terima kasih ya Tuhan semua ini begitu indah.


Di puncak gunung Ijen saya bertemu sahabat sahabat sesama petualang dari Jember yang sedang berkemah disana. Dengan sedikit tidak sadar akan ukuran tubuh, saya berhasil menghalau dingin dan masuk kedalam tenda mereka yang sudah penuh sesak. Thanks to yo guys u are “Bebatuan”. Setelah berhasil menaklukan Gunung Ijen kemudian kami pun bergegas turun untuk meneruskan petualangan lainnya. Kali ini perahu demi perahu rafting telah menunggu kami di sungai Bondowoso. Sungai yang lebar dan konon dalamnya hingga 7 meter ini siap memacu adrenalin kami. Saya dan beberapa rekan lainnya benar benar mengalami sebuah petualangan yang seru. Dimulai dengan keseruan rekan seperahu hingga pemandangan disekeliling kami yang luar biasa menawan, benar-benar menyempurnakan pengalaman melintasi riak demi riak jeram di sungai ini. Seolah belum cukup sampai disana adrenalin kami pun ditantang untuk melintasi terjalnya medan penjemputan. Seluruh peserta diangkut dengan truck, terpaksa sesekali kami harus turun disebabkan medan jalan yang sanagat berat. Truck kami yang besar ternyata tak mampu beranjak naik. Ditambah lagi sesekali harus waspada akan ranting ranting pohon di kiri dan kanan yang genit menjamah. Oucchhh…mind your head guys…..


Rafting rupanya merupakan kegiatan terakhir dari keseluruhan rangkaian International Ijen Festival, ditengah keletihan yang menderu, kami harus disodorkan dengan perpisahan. Kebersamaan selama tiga hari nampaknya melahirkan pertemanan pertemanan baru nan tulus diantara para peserta. Berbagai gelak tawa dan keseruan yang kami semua alami berhasil menutupi friksi friksi kecil selama pelaksanaan. It was a tremendous experience, meeting new friends, learning new cultures from all over the world are the most exciting thing from this festival. See u again on the next Ijen Festival guys..



Thousands steps to Entikong, menyimak nasionalisme hujan batu di negeri sendiri


Lelah seharian berkelana mengelilingi kota Pontianak dan menyusuri Sungai Kapuas, malam harinya saya putuskan untuk mengambil bus malam menuju ke beranda terdepan nusantara kita tercinta. Ya saya putuskan untuk menjejakkan kaki dan menyimak keseharian masyarakat di Entikong. Entikong adalah sebuah daerah terdepan nusantara yang berbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia. Entikong beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan media ibu kota tentunya seputar ketidak harmonisan penduduk di sekitar perbatasan dan masalah caplok mencaplok wilayak kedaulatan. Jarak antara Pontianak ke Entikong sekitar  kurang lebih 300 KM.  Entikong adalah sebuah kota di kabupaten Sanggau, di Kalimantan Barat. Di sinilah Beranda terdepan Nusantara yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia


Berbekal sedikit informasi bahwa Entikong dapat ditempuh dengan menggunakan bus malam, maka tanpa ragu saya pun menghubungi agen tiket bus setempat. Seperti layaknya penumpang lain di bus ini, sebagian besar dari mereka memiliki tujuan akhir ke Kuching di Malaysia. Begitu pun dengan saya namun saya tentunya tidak akan melewatkan begitu saja kesempatan berinteraksi dengan masayarakat lokal disekitar perbatasan. Entah mengapa saya selalu memiliki ketertarikan untuk mengamati tingkah polah masyarakat dimanapun saya berada dalam setiap kesempatan perjalanan saya. Bagi saya perjalanan itu tidak hanya sebuah aktifitas berpergian, namun juga hijrah secara benak dan hati saat melihat banyak sekali hal hal baik yang kita pelajari.


Saat itu waktu menunjukkan pukul 4 pagi, masih terlalu awal untuk bus yang saya tumpangi bisa melintasi perbatasan. Rupanya perbatasan baru akan dibuka sekitar pukul 6 pagi. Tanpa pikir panjang lagi saya pun turun dari bus dan sejenak melepaskan kepenatan sembari berbincang bincang dengan penduduk disekitar perbatasan. Sebut saja pak Kardi, pria asal Kebumen yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Entikong mengatakan pada saya bahwa sesekali saya memang sempat iri terhadap apa yang negara tetangga kita miliki. Jalanan yang lebar dan mulus, pelayanan sosial yang sangat baik, terkadang membuat saya berandai andai untuk menjadi warga negara Malaysia. Namun beliau dengan cepat menangkis keinginannya seraya berkata “ AHH BIARLAH HUJAN EMAS DI NEGERI ORANG, SAYA MEMILIH HUJAN BATU DI NEGERI SENDIRI.  Sungguh pernyataan pak Kardi membuat saya merinding, membuat saya tak mampu menahan air mata. Romatisme dan semangat Nasionalisme semacam inilah yang bangsa kita perlukan untuk menjadi negeri yang lebih baik. Pak Kardi seorang pedagang nasi goreng nampaknya berhasil menghentak kesombongan saya sebagai petualang. Saya selama ini selalu bercerita akan betapa teraturnya negeri seberang, saya pun tak sungkan membelikan oleh oleh murahan buatan negeri seberang dalam setiap perjalanan saya dan masih berani mengaku cinta Indonesia. Sementara pak Kardi, pria tua sederhana yang kesehariannya selalu melihat keemasan negeri seberang tak gentar dengan ke-Indonesiaannya.


Mentari sudah menampakkan batang hidungnya, tanpa malu pun sinarnya memancar ke segala arah, waktunya saya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Namun sebelum itu saya sempatkan sejenak untuk melakukan shallat Dluha disebuah surau kecil di dekat perbatasan. Terucap harap pada yang maha kuasa agar negeri ini memberikan perhatian lebih bagi pejuang pejuang nasionalisme di negeri ini. Sungguh sebuah petualangan beribu makna di beranda negeri, terisak tangis dalam nasionalisme hujan batu di negeri sendiri.




Waktu pun membeku di bantaran Kapuas


Mata ini belum terbangun benar ketika ku coba raih telpon selular yang berbunyi lantang. Kesadaran ku pun belum pula genap saat membaca sms dari seorang rekan kerja. "Mas hari ini dan senin kita off mas". Hari ini adalah hari Jum'at terakhir di bulan ini. Sontak saya pun terhempas pada kesadaran "it's gonna be a long weekend then yihaaaaa!. Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar perjalanan saya adalah mendadak, begitu juga dengan perjalanan kali ini. Bergegas saya membuka beberapa situs airlines kesayangan. Dan yup, saya masih bisa mendapatkan harga "bersahabat" untuk perjalanan saya kali ini.



Jakarta-Pontianak di terminal 1B ya pak silahkan check in satu jam sebelumnya. Hmm ..yaa kali ini adalah Pontianak sebagai destinasi saya, perjalanan ini sudah saya impikan sekian lama. Saya masih ingat saat itu saya berusia enam tahun, dan ketika itu ayah saya pernah bercerita tentang kota Pontianak. Beliau sempat berdinas beberapa hari disana dan bahkan membawakan kami oleh-oleh, sebuah miniatur tugu khatulistiwa. Semenjak itulah saya menyimpan keinginan untuk bisa mengunjungi tugu equator ini. Tugu equator atau tugu Khatulistiwa merupakan tanda bahwa di tempat tersebut adalah titik nol garis khatulistiwa, dimana pada bulan bulan Maret dan September akan  terjadi titik kulminasi matahari, yakni fenomena alam ketik matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Pada saat itulah posisi matahari tepat berada diatas kepala kita sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda di permukaan bumi. Peristiwa kulminasi ini akan mengakibatkan bayangan tugu seolah menghilang. Disinilah sekarang saya  berada tak lupa saya sempatkan sejenak untuk mengabadikan gambar saat kedua kaki saya menyentuh garis  equator tersebut. Sayangnya seorang pemandu disana mengatakan “saat ini titik nol khatulistiwa sudah bergeser beberapa derajat mas, jadi bukan disini lagi”. Uhuuk sontak saya merasa sedikit kecewa namun tak apalah, yang penting akhirnya saya bisa melihat sendiri seperti apakah tugu khatulistiwa yang pernah ayah saya ceritakan jauh saat saya masih kecil dahulu.



Pontianak sesungguhnya tidak hanya sekedar tuqu khatulistiwa, banyak sekali yang bisa dikunjungi di ibu kota Kalimantan Barat ini. Sulit rasanya untuk melepaskan pandangan saya pada bidang luas yang membentang dengan gagahnya. Sungai Kapuas, ya sungai kapuas yang perkasa menjadi pilihan saya untuk mengantarkan kembali mentari ke peraduannya hari ini. Sedikit alot tawar menawar saya dengan seorang pemilik perahu wisata, namun akhirnya kami sepakat juga untuk sejenak mengantarkan saya menyusuri sungai terpanjang di Indonesia ini. Sungai Kapuas ini begitu lebar dan panjang, bahkan seorang nelayan yang saya temui sebelumnya sempat berkata, bahwa ini adalah sungai terpanjang di dunia mas, ujarnya sembari bergurau ragu dan sesekali melempar kail ke sungai. Tentu saja sungai Kapuas bukanlah yang terpanjang di dunia, namun jelas yang terpanjang di Indonesia, sungai ini panjangnya 1.143 KM dan yang terpanjang yang pernah saya lihat. Kalau saja sungai-sungai di Jawa hanya dilalui kapal-kapal kecil. Di sungai Kapuas ini kapal kapal besar berbobot mati tonase pun dengan mudahnya hilir mudik melintas. Tidak terbayang betapa dalamnya sungai ini. Bayangkan betapa luar biasanya potensi perikanan yang bisa kita gali di Sungai Kapuas. 



Di sepanjang sungai, dapat dengan mudah kita temukan rumah Bentang, rumah asli  suku Dayak. Rumah ini umumnya berukuran sangat panjang dan telah berdiri beberapa generasi. Sungai Kapuas memiliki arti yang sangat besar bagi masyarakat Kalimantan Barat sebab sungai ini adalah jantung kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat suku Dayak. Disinilah sebagian besar aktifitas masyarakat suku Dayak dilakukan.  Beberapa ibu terlihat sedang memebersihkan peralatan dapurnya sementara tak jauh disebelahnya seorang nelayan sedang mencuci jaring di bibir sungai. Anak anak nelayan dengan beraninya bersampan kecil menyusuri sungai. Disinilah waktu seolah berhenti. Hiruk pikuk kehidupan kota besar seolah terpagar dengan rapat oleh damainya kehidupan tradisional.


Perjalanan saya menjejakkan kaki di bumi equator nampaknya mampu membawa saya sedikit menjamah  ketentraman dan kedamaian hidup layaknya keseharian masyarakat suku Dayak di bantaran sungai Kapuas. it's amazing how beautiful this simplicity can be…

Senin, 18 Juni 2012


Traveler don't give up, ber-ojek ke Bedugul, (taken from AFOI)

Sore itu tak tampak lagi bus umum yang biasa mangkal di terminal bus Gilimanuk. Mungkin sudah terlalu malam saya merapat di pelabuhan. Ya, saat ini saya memang sedang berada di Bali dan tujuan kunjungan saya kali ini adalah untuk merasakan sisi yang berbeda dari pulau dewata. saya ingin “ngadem” di Bedugul, saya sedang tidak ingin berpanas-panas di pinggir pantai, tidak pula hendak mencari keriuhan kehidupan kota besar. Perkenalan pertama saya dengan Bali dimulai sejak awal kali saya tinggal di sebuah kota, di ujung  Jawa Timur sekitar delapan tahun yang lalu. Lokasinya yang relatif mudah terjangkau dari tempat saya tinggal dan keindahan alam yang begitu luar biasa adalah dua alasan utama kenapa saya selalu kembali ke Bali.


Saya tak boleh kalah dengan keadaan bukan traveler namanya bila menyerah pada keadaan, justru saat saat seperti inilah yang membuat saya selalu menyukai traveling. Seraya berisitirahat sejenak di sebuah warung kopi, saya pun bertanya pada seorang ibu pemilik warung kopi sederhana di seberang terminal bus. Saya bertanya tentang kemungkinan meneruskan perjalanan menuju kota Singaraja, yang merupakan kota transit terdekat sebelum menuju ke Bedugul. Si ibu yang berasal dari Banyuwangi ini pun menjawab sesuai dugaan saya, “ tidak ada mas jam segini bus sudah tidak ada lagi.. tunggu saja besok”.  Meski sedikit lemas mendengar jawaban si ibu, tapi saya masih menyimpan harap.


“ Pakai ojek saya saja mas, 100 ribu saja, kebetulan saya juga mau pulang ke Singaraja”. Lamat-lamat saya mendengar nada berat dari seorang laiki-laki berbadan kurus berusia setengah baya yang duduk disebelah saya. Raut wajahnya yang keras sempat membuat saya menduga kalau ia seorang tukang kuli panggul di pelabuhan, rupanya laki laki ini adalah seorang tukang ojek. Wah idenya boleh juga nih, tapi apa ga terlalu mahal ya? Pikir saya, tapi daripada harus menginap, tentu akan keluar uang lebih banyak dan saya pastinya akan terlambat, pikir saya kembali.


Singkat cerita, saya pun kemudian menyetujui tawaran si abang ojek. Setelah gelas kopi kami berdua kosong dan hisapan rokok terakhir, akhirnya melajulah kami ke Singaraja. Ongkos yang kami sepakati adalah 80 ribu rupiah, untuk satu jam lebih perjalanan, saya rasa tarif ini adalah tarif yang wajar. Setengah jam pertama, perjalanan menggunakan ojek terasa begitu menyenangkan, walau tidak banyak pemandangan yang bisa saya lihat disebabkan awan gelap yang  terlalu congkak menunjukkan kehadirannya, namun hempasan angin sore yang merasuk keseluruh tubuh, seolah mengabulkan apa yang saya inginkan dari perjalananan ini. 

Tak lama kemudian saya melihat si abang ojek terlihat gelisah, berulang kali ia membenahi posisi duduknya. Hal ini sangat mengganggu konsentrasi mengendara. Lambat laun, beliau bercerita bahwa beliau sudah hampir 3 tahun menderita wasir yang cukup parah sehingga tidak bisa duduk terlalu lama. Oh may God, kasihan sekali. Si abang pun menawarkan untuk beristirahat sejenak, saya kembali terpikir akan betapa terlambatnya saya bila harus menerima tawaran beristirahat ini. Saya harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ya, memang bagi saya yang pegawai kantoran, akhir pekan adalah kesempatan emas untuk memulai traveling dan harus dimanfaatkan sebaik baiknya. sekali lagi, situasi- situasi seperti inilah yang membuat saya makin menyukai traveling,  situasi dimana saya harus benar -benar mengatasi segala rintangan, berhitung segala kemungkinan dan mencari jalan keluarnya. Sontak sebuah ide gila pun terbersit  dan terucap, “biar saya saja yang menyetir motor nya pak, tak lama kemudian posisi pun berubah, dan  saya pun sudah berada di depan.

Saya laju motor tua berwarna merah gelap ini dengan segenap perasaan kagum atas betapa luar biasanya pengalaman yang timbul ketika kita berani membuka diri atas segala kemungkinan. Bagi saya cerita unik semacam inilah yang tidak akan pernah saya lupakan. Sungguh spontanitas yang menyenangkan. Senyum penuh kepuasan tersimpul dengan jelas, perjalanan menuju danau Bedugul yang dingin dan romantis pun kembali kami lanjutkan.Horaaaay...Bedugul wait for me.




Pulau Pari yang Mengesankan. (taken from AFOI)

Setelah 30 tahun lebih jadi warga Jakarta, akhirnya tercapai juga cita cita menginjakan kaki di Kepulauan Seribu, Voila…blue sky…the bright sun…white sands..and i cheers to that…


Berawal dari  ajakan teman, saya memutuskan untuk mengunjungi pulau Pari, di Kepulauan Seribu. Untuk menuju ke pulau ini ,saya menggunakan kapal yang berangkat dari Pelabuhan Muara Angke. Perahu nelayan yang terdiri dari dua lantai ini memiliki sebuah toilet “darurat” di bagian belakang. Seperti layaknya kapal kayu lain, kapal motor yang memberangkatkan saya ke pulau ini sayangnya tak berpendingin udara.
Perjalanan sudah hampir satu jam, pulau demi pulau terlewati, namun perjalanan belum juga sampai, riak demi riak ombak berhasil terpecahkan, angin laut yg begitu segar, menampar wajah saya yang saya sandarkan ditepian jendela, seraya mendengarkan lagu-lagu dari album favorit, perjalanan ini terasa begitu menentramkan, mampu menyatukan pikiran dan jiwa.


Dermaga yang sedehana namun bersih, tampak air laut yang begitu bening dan tenang menyambut kedatangan saya di pulau Pari. Pulau ini adalah pulau kecil yg penuh warna dan jauh dari kesan membosankan. Tak menyangka betapa Jakarta masih memiliki tempat se-alami ini, walaupun jauh dari pusat kota namun tetap saja tempat ini merupakan solusi bagi warga Jakarta yang ingin sejenak keluar dari rutinitas. Disini kita bisa bersepeda keliling pulau, bersnorkeling, dan tentu saja berenang Jadi tunggu apa lagi…berkemaslah and lets have fun in Pari Island



Magnificent Ijen (AFOI)

Sejatinya Kawah Ijen merupakan sebuah danau asam yang berada di pucuk gunung Ijen. Gunung ijen itu sendiri terletak diantara dua kabupaten di Jawa-Timur yaitu kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi. Untuk mencapai ke sini, memang diperlukan sedilikt perjuangan, Selain minimnya transportasi umum yang dapat diandalkan, Jalur pendakiannya pun lumayan terjal dan berpasir. Tentunya  ini akan menjadi tantangan lain bagi saya yang berbadan “besar” ini.


Perlahan saya menyusuri jalur pendakian yang semakin lama semakin terasa sulit.Tak jarang saya bertemu dengan para pengangkut sulfur yang melangkah dengan sigapnya, seolah-olah tidak sedang membawa beban apapun di bahu mereka. Sedikit tersindir memang, sebab saya saja yang tak membawa beban, terasa sulit sekali meneruskan langkah yang semakin lama semakin gontai, ditambah nafas yang terengah-engah diantara oksigen yang semakin tipis, sungguh melelahkan. Namun pendakian ini harus saya selesaikan, apapun yang terjadi, itulah tekad saya.


Kawah Ijen memang sudah lama menjadi incaran destinasi saya, berawal dari keharusan mengunjungi kota ini untuk bekerja, tanpa ragu sedikitpun saya putuskan untuk memperpanjang kunjungan demi bisa memuaskan mimpi yang telah lama tersimpan. Tarikan nafas terasa semakin kencang, detak jantung pun semakin cepat, seolah memberi tanda bagi saya untuk sejenak beristirahat. Seketika itu pulallah saya melihat area landai yang cocok sekali untuk menjadi tempat peristirahatan. Tanpa menunggu lebih lama, saya hempaskan tas ransel  yang isinya tak seberapa itu ke tanah. Seolah tak mau kehilangan waktu, saya langsung duduk bersila, aduh ternyata posisi seperti ini hanya akan membuat kaki saya menjadi kram, sakit sekali. Beruntung, saya masih ingat sedikit tentang cara mengatasi kaki yang kram, saat pelajaran olahraga di sekolah dahulu.  Luruskan kaki ...kemudian lemaskan perlahan...lakukanlah berulang-ulang.


Mas, ojo turu nang kene, dalam keadaan setengah sadar, saya mendengar seorang laki-laki berbicara dalam bahasa Jawa kepada saya, rupanya saya telah tertidur saat beristirahat, spontan saya mengarahkan pandangan kearah jam tangan, waktu telah menunjukan pukul 14.15, ini artinya, saya sempat tertidur kurang lebih setengah jam. Belum pulih benar kesadaran saya namun saya tak boleh membuang waktu lebih lama lagi, saya harus bergegas agar tidak terlalu sore sampai di Kawah Ijen dan bisa kembali ke penginapan sebelum malam. Setelah hampir 30 menit saya berjalan dari tempat peristirahatan tadi, akhirnya sampai juga saya di puncak Kawah Ijen. Tabir kawah yang awalnya malu-malu diselimuti asap sulfur,  sedikit demi sedikit mulai terungkap. Subhanallah, indah sekali.



Saya seperti sedang berjalan diatas awan. Kawah Ijen yang berwarna hijau itu pun begitu menentramkan, tak kuasa saya menahan kagum, sekaligus syukur. Sesak akibat penanjakan sirna berganti sesak karena menahan  kekaguman. Semua begitu Indah sampai airmata pun tak terbendung. Sungguh luar biasa. Seakan tak mau kalah, rona awan disekitar kawah Ijen pun mulai berubah, berganti layaknya lukisan seniman kelas dunia. Sesekali awan menunjukkan rona biru cerah bercampur putih yang menggoda kemudian tak lama berganti kuning kemerahan yang eksotik. Semburat matahari sore pun begitu congkak menampakkan diri. Awan gelap sedikit demi sedikit mulai menghiasi, pertanda bagi saya untuk segera turun. Ditengah perjalanan pulang ke penginapan, tak habis-habisnya saya mengucap syukur atas betapa indahnya Indonesia.

Memang belum terlalu banyak negara lain yang saya kunjungi tapi saya yakin tidak ada pemandangan secantik ini di luar negeri sana.



Semburat Mentari Di Negeri Laskar Pelangi (taken from AFOI)

Negeri Laskar Pelangi, begitulah Belitung banyak dikenal masyarakat saat ini. Sejak film Laskar Pelangi meledak di bioskop-bioskop, pulau Belitung memang bagaikan primadona baru pariwisata di Indonesia. Bersama beberapa teman, saya pun sampai juga disini...



Konon nama pulau Belitung diambili dari nama sejenis hewan laut. Pulau ini terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung, ber-ibukota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur yang ber-ibukota di Manggar. Sebagian besar penduduk disini adalah nelayan, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai, mereka sudah sangat akrab dengan kehidupan bahari.



Biasanya kalau kita ke Belitung, aktifitas akan terpusat di Belitung Barat, karena disinilah terdapat pantai pantai yang cantik, salah satunya adalah pantai Tanjung Kelayang yang merupakan akses untuk menuju  pulau-pulau kecil lain seperti yang kita lihat di film Laskar Pelangi. Sebaiknya kita tidak tergesa gesa, luangkanlah waktu seharian khusus untuk menyinggahi satu demi satu pulau-pulau cantik di Belitung, terlebih bila kita hendak menyaksikan betapa cantiknya matahari terbenam sambil menikmati segarnya air kelapa muda yang langsung diambil dari pohon. Ya saat itu saya memang beruntung, sang pengemudi perahu kami berhasil memanjat sebuah pohon kelapa di pulau Babi Kecil dan kemudian mengambilkan kelapa muda segar untuk kami nikmati. Wah benar benar pengalaman menyaksikan matahari terbenam yang tak akan terlupakan.

Bagaikan Menabung di Eropa (taken from AFOI)

Seketika saja saya merasa seperti berada di sebuah bank di negeri Belanda, mas bro meneer dan noni noni Belanda tampak hilir mudik di depan kasir. Disudut lain, tampak cece dan koko berbusana congsam khas warga keturunan yang sedang saling bertegur sapa, tapi mengapa tak tampak satu pun papan berbahasa Indonesia di sini ya?, wah ternyata saya sedang berada di Musium Bank Mandiri di kawasan kota tua di Jakarta. Horee saya menabung dulu ya !!!..

Bernostalgia di Kawasan Kota Tua memang selalu menyenangkan. Berawal dari sebuah trip galau mendadak,  saya bersama seorang rekan menyusuri satu demi satu sisi Museum Bank Mandiri yang yang sudah ada sejak 2 Oktober 1998. Museum ini luas sekali tak tanggung tanggung musium ini menempati area seluas lebih dari 10.000 m2. Museum yang pada awalnya adalah gedung perusahaan dagang milik Belanda dan kemudian berkembang menjadi Bank Mandiri pada tahun 1999, menyimpan banyak sekali koleksi perbankan “tempo doeloe” .


Koleksi yang dimiliki mulai dari perlengkapan operasional, surat berharga, mata uang kuno safe deposit box dan tentu saja alat hitung kuno seperti sempoa, tak ayal, perlahan ingatan saya kembali pada sepenggal ingatan masa kecil saat pertama kali ayah mengajarkan berhitung dengan menggunakan sempoa.


Untuk menikmati koleksi-koleksi di musium Bank Mandiri, kita tidak perlu membayar alias gratis, jadi berkunjung ke musium Bank Mandiri adalah alternatif wisata edukasi di kota Jakarta yang murah meriah. Ayo tunggu apa lagi, kita tambah wawasan tentang perbankan sambil berkhayal menabung di negeri Belanda.

Sepenggal "Lisbon" di Yogyakarta (taken from AFOI)

Lamat-lamat terdengar ramai suara pengunjung di kejauhan. Tanpa ragu sedikit pun saya langkahkan kaki saya ke sebuah bangunan besar yang didominasi oleh warna merah bata. Di banyak sudut bangunan ini, dengan mudah kita bisa temukan pola-pola lengkung kubus, khas sekali bangunan bangunan di kota Lisbon. Bila dilihat dari depan, sekilas bangunan ini mirip mahkota yang biasa digunakan oleh putri-putri raja di eropa. Tapi apakah saat ini saya sedang berada di Portugal? Tentu saja tidak, saat ini saya sedang berada di Istana Taman Sari, di Daerah Istimewa Yogyakarta.



Taman Sari adalah sebuah puri pemandian raja yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono ke- I sekitar tahun 1757. Komplek bangunan ini luasnya lebih dari 10 Hektar dan didominasi oleh gaya bangunan Portugis, tentu saja, secara komplek pemandian raja yang pembangunannya selesai pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono ke- III ini memang dibidani oleh seorang  arsitek berkebangsaan Portugis. Konon tidak ada satupun rangka besi yang digunakan dalam pembangunan komplek pemandian ini lho. Wah Terdengar sangat mustahil bukan..? namun itulah yang terjadi.



Bergeser sedikit ke arah barat bangunan, kita akan dibius dengan keindahan arsitektur sebuah komplek masjid di bawah tanah. Menariknya di salah satu sisi masjid ini terdapat sebuah lorong  yang konon juga merupakan akses bagi Sultan Yogyakarta bila hendak bertemu dengan Kanjeng Nyai Ratu Roro Kidul.Ya, ditengah kemajuan pola pikir masyarakat kita saat ini, sepertinya penggalan-penggalan cerita magis pun masih dianggap “sexy” sehingga kerap menghiasi kehidupan sehari-hari.  Dari sekian banyak cerita magis yg berhembus tentang lorong pertemuan ini, sesungguhnya terdapat fungsi yang sebenarnya lebih logis. Lorong yg telah beberapakali mengalami renovasi ini, dahulu kala merupakan tempat persembunyian sekaligus jalur melarikan diri bila terjadi serangan musuh.



Mas..jeneungan ditunggu tukang becaknya di depan, seru seseorang seraya menepuk bahu kiri saya, seketika pula hilanglah segala lamunan saya tentang menjadi seorang  raja yang sedang mandi di kolam pribadi beraksen eksterior portugis. Tak terasa rupanya sudah hampir dua jam saya berada di komplek pemandian Taman Sari. Begitu indah dan memukaunya tempat ini, hingga mampu menghentikan waktu dan melambungkan lamunan saya. Sebuah tempat yang kaya akan nilai sejarah, budaya, humanisme dan tentunya arsitektur.