Rabu, 29 Agustus 2012

Kotak usang pun berbicara

Pagi belum genap benar, matahari pun masih tampak hemat, tak banyak cahaya yang menerangi suasana diluar sana. Deru putaran kipas angin di kamar hanya satu satunya pemecah keheningan dini hari ini, disaat yang sama saya harus menerima telepon masuk dalam keadaan setengah sadar..telp tersebut tak lain adalah telepon dari sopir travel yang akan membawa saya ke airport di Surabaya.

Kepulangan saya kali ini ke Jakarta sangat berbeda, sebab kali ini saya pulang ke Jakarta untuk kembali bekerja disana. Hampir lima tahun terakhir ini saya memang bekerja untuk sebuah kantor pemerintah disebuah kota kecil di Jawa Timur yaitu di Situbondo, dan hampir selama itu pulalah saya melakukan ritual mudik setiap dua mingu sekali.

Syukur Alhamdulillah, ritual mudik ini akan segara berakhir, sebab mulai bulan ini saya kembali bekerja di Jakarta. Sebuah tantangan lain yang telah menanti. Namun rupanya meninggalkan sesuatu yang sudah kita jalani bertahun tahun bukan hal yang mudah. 


Setiap sudut kamar kost saya seolah berbicara "kamu akan tinggalkan kami..?" Lemari besi kecil tempat saya biasa menyimpan segala barang berharga pun seolah berkata " jadi inikah saatnya..? Kamu tinggalkan saya dan saya akan kembali menjadi sebuah kotak usang tempat menyimpan barang barang kurang berharga, seperti dahulu saat kamu pertama kali menemukan saya".

Mungkin saya berlebihan namun setidaknya itulah yg terlintas dalam benak saya. Saya sempatkan mengabadikan sedikit kenangan tentang kamar kost saya tersebut dalam sebuah bidikan kamera. Belum lagi usai kegalauan meninggalkan kamar, kini kegalauan lain menghampiri saya saat berpamitan dengan ibu kost. Wanita tua sederhana yang selama ini menjadi pelindung saya. Saya lihat rona kesedihan terpancar diwajahnya. Saya tak berharap dia meneteskan air mata, karena itu hanya akan membuat saya semakin sedih.

Waktu tak mampu ku bendung, travel yang akan membawa saya ke Surabaya pun telah menunggu di depan rumah. satu hal yg saya yakini bahwa saya memiliki banyak sekali kenangan disini and I wont forget this experience for thousands of years....

Bersambung.........

Kamis, 09 Agustus 2012

Belajar Menjabar Sabar

Setiap perjalanan memiliki kisah, setiap perjalanan bercerita, dan setiap perjalanan juga memiliki awal dan berujung.
Tepatnya 5 Januari 2004, saya menapakkan kaki untuk pertama kalinya di Bandara Djuanda di Surabaya. Keberangkatan saya ke Surabaya tak lain guna mengawali karir saya di institusi ini. Kala itu panas begitu menyengat, makhluk gemuk yang satu ini begitu sulit mengatur langkah. Kepadatan manusia yang sedang mencoba keluar dari pintu pesawat berbadan kecil milik perusahaan penerbangan yang kini sudah bubarpun menjadi tantangan tersendiri. Apa boleh buat pesawat jenis inilah yang saat itu dikelola oleh airlines yang terkenal paling murah dan sesuai dengan kantong saya. Sebuah koper tua milik ayah saya tercinta menjadi satu satunya barang berharga yang menemani.Oh ya tujuan akhir saya  adalah sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur yang bernama Jember. 
Celingak celinguk di bandara Djuanda (lama) tentunya merupakan gesture yang wajar saat itu, sebab daerah ini memang sama sekali asing bagi saya. Untungnya saya tak perlu khawatir akan di jambret karena memang tidak banyak uang yang saya bawa. Berdasarkan informasi yang saya terima saya perlu naik taxi ke arah terminal bus Bungurasih nama terminal bus di Surabaya. Sekian lama menunggu namun tak satupun taxi yang saya lihat, hingga akhirnya saya diberitahu bahwa taxi pun sulit di dapat. Kemudian saya teringat akan sebuah kertas yang diselipkan ibunda tercinta kedalam saku baju saya yang ternyata berisi sebuah nomor telpon seorang saudara yang tinggal di daerah Sidoarjo. Ibunda saya pun berpesan untuk menghubunginya saat saya sampai di airport. Hape lama bermerk Phillips yang sangat saya banggakan sebab merupakan kristalisasi keringat saya selama bekerja beberapa bulan di sebuah bank di Bandung saat itu pun saya keluarkan dari tas guna menelepon nomor tersebut. Tak beberapa lama kemudian selamatlah saya, sebab penjemputan telah datang.

Sesampainya di terminal Bungurasih dan mendapatkan bus, saya melemparkan asa sembari berpikir seperti apakah kota Jember yang akan saya tinggali. Sebagai anak ibukota yang hanya tahu Jakarta dan Bandung saja, saya tentunya berpikiran bahwa Jember adalah sebuah daerah tertinggal yang akan menjadi tantangan terberat saya saat itu. (bahkan saya sempat membawa beberapa keperluan mandi cadangan untuk persediaan selama beberapa bulan, khawatir di sana tidak ada yang menjual barang barang tersebut). Berlebihan bukan? tapi itulah yang terjadi. Perjalanan menuju kota Jember terasa begitu lama dan panjang. Saya sudah merasa bosan, ingin rasanya segera sampai. Berkali kali bertanya pada kondektur bus namun jawaban yang sama-lah yang saya dapatkan yaitu "masih jauh mas". Sepanjang perjalanan yang saya lihat hanyalah sawah, rumah penduduk dan sungai. Keterkejutan saya saat itu pun berulang saat melihat hal hal aneh selama perjalanan, terutama saat saya melihat sebuah sungai besar yang menghubungkan kabupaten Lumajang dengan Jember. Saya melihat beberapa orang secara berdekatan melakukan aktifitas buang air besar berjamaah di sungai. Great…. now I see butts, and yes it’s the longest toilet I have ever seen. Etapiiiiii tahu ga, tidak jauh dari barisan warga yang sedang boker berjamaah tadi ada pula warga yang  sedang mencuci pakaian dan sikat gigi loh, ouch It happens and I’m not making it up. 


Setelah melalui 5 jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya sampai juga di Jember, saya melihat kerumunan taxi didalam terminal, dan taxi inilah yang akan mengantarkan saya ke kantor baru di kota ini. Setelah bertanya apakah taxi ini menggunakan argo sang sopir pun menjawab ” iya ini taxi “argo” belakangan saya baru tahu kalau ternyata argo yang dia maksud adalah merk perusahaan taxi itu sendiri. Kemudian saya pun hanya diam dan pasrah begitu sang sopir menodong ongkos sebesar 25 ribu. Tak hendak bersikap lain sebab saya khawatir diturunkan di negeri antah berantah ini dengan meneteng-nenteng kopor ala turis nanggung Sopir taxi sialan gerutu saya dalam hati.

Kini setelah hampir 9 tahun sejak awal kedatangan saya di Jember, setelah beberapa kota disekitarnya pun saya singgahi, Jember bagi saya tidak hanya tentang pengalaman pertama ditipu sopir taxi, bukan pula tentang pengalaman saya ditipu karyawan sebuah superstore yang kini telah berganti nama ketika saya hendak membeli TV atau saat harus ditipu tukang becak saat galon Aqua saya dibawa kabur. Tentunya Jember juga bukan sekedar tentang berganti ganti kos-kosan dan bertemu orang orang baru. tetapi Jember juga adalah tempat bagi saya untuk pertama kalinya belajar mengendarai sepeda motor, tempat saya juga pertama kali mengumpat boss saya karena kebijakannya yang tremendously stupid. Jember dan kota kota lain disekitarnya juga berarti tempat dimana saya merasakan gegar budaya yang demikian menggaggu ketika orang orang yang saya anggap intelektual ternyata masih menggunakan aksen dan bahasa kedaerahan ditempat kerja which is sebenarnya populasinya tidak seratus persen homogen, lagipula ini lingkungan formal bung...Geez that's so annoying and harassing in some certain level.

Despite all that Jawa Timur pada umumnya dan khususnya Jember adalah tempat dimana saya bertemu dengan beberapa “cinta” walau kemudian kandas. Tempat saya pertama kali mengenal dunia siaran, tempat saya pertama kali naik becak keliling kota dengan hanya mengandalkan bahasa tubuh yang menghubungkan saya dengan sang tukang becak sebab kami berdua tidak saling mengerti bahasa masing. Kemudian tak berlebihan kiranya jika saya katakan bahwa Jember sudah menjadi seperti rumah lainnya bagi  saya, tempat dimana banyak sekali teman teman kreatif dan menyenangkan. Senang sekali melihat kota ini berkembang dan mengalami kemajuan.

Setelah hampir sembilan tahun belajar menjabar sabar, di beberapa daerah di Jawa Timur seperti Jember Probolinggo, Pasuruan dan Situbondo, kini Insyaallah saya akan kembali ke Jakarta, tempat yang sekian lama saya tinggalkan, meski tidak pernah benar benar hilang dari hati. Teriring pula rasa cemas berbalut ketakutan akan kerasnya ibukota namun rasa syukur kehadirat Allah SWT tetap akan selalu menyelimuti setiap langkah saya.


Terimakasih ibu dan teman teman kos di GNI, ibu dan teman teman kos di Wahid Hasyim, ibu dan teman teman kos di Jl.Sumatra. Keluarga dan teman teman kos di Probolinggo, Keluarga dan teman teman kos di Situbondo. Teman teman kantor di Jember, Probolinggo, Pasuruan dan Situbondo yang sorry ga bakal bisa saya sebut satu satu. Sahabat sahabat saya; Andry, Vicktor dan keluarga, Eja, dr Pras, drg Faisol Bassoro, teman teman Jember Banget (keep up the good work all). Teman teman CouchSurfing Jember, Aaron, Andreas, Sattar Nasipedes, si cantik Emil, mba Mitha, Donda dasilva, mba Irma, Dyan Rachman,  Danang, Daniel Denz dan teman teman semua. U'll always in my heart…keep traveling keep reading pages and more pages of life thru traveling. Live your life by seeing more places. (ciehh kayak bener aja )

i'm coming back...just be nice to me Jakarta...