Thousands steps to Entikong, menyimak nasionalisme hujan batu di negeri sendiri
Lelah seharian
berkelana mengelilingi kota Pontianak dan menyusuri Sungai Kapuas, malam
harinya saya putuskan untuk mengambil bus malam menuju ke beranda terdepan
nusantara kita tercinta. Ya saya putuskan untuk menjejakkan kaki dan menyimak
keseharian masyarakat di Entikong.
Entikong adalah sebuah daerah terdepan nusantara yang berbatasan langsung
dengan Sarawak Malaysia. Entikong beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan
media ibu kota tentunya seputar ketidak harmonisan penduduk di sekitar
perbatasan dan masalah caplok mencaplok wilayak kedaulatan. Jarak antara Pontianak ke Entikong
sekitar kurang lebih 300 KM. Entikong adalah sebuah kota di kabupaten
Sanggau, di Kalimantan Barat. Di sinilah Beranda terdepan Nusantara yang
menghubungkan Indonesia dengan Malaysia
Berbekal sedikit
informasi bahwa Entikong dapat ditempuh dengan menggunakan bus malam, maka
tanpa ragu saya pun menghubungi agen tiket bus setempat. Seperti layaknya
penumpang lain di bus ini, sebagian besar dari mereka memiliki tujuan akhir ke
Kuching di Malaysia. Begitu pun dengan saya namun saya tentunya tidak akan
melewatkan begitu saja kesempatan berinteraksi dengan masayarakat lokal
disekitar perbatasan. Entah mengapa saya selalu memiliki ketertarikan untuk
mengamati tingkah polah masyarakat dimanapun saya berada dalam setiap
kesempatan perjalanan saya. Bagi saya perjalanan itu tidak hanya sebuah
aktifitas berpergian, namun juga hijrah secara benak dan hati saat melihat
banyak sekali hal hal baik yang kita pelajari.
Saat itu waktu
menunjukkan pukul 4 pagi, masih terlalu awal untuk bus yang saya tumpangi bisa
melintasi perbatasan. Rupanya perbatasan baru akan dibuka sekitar pukul 6 pagi.
Tanpa pikir panjang lagi saya pun turun dari bus dan sejenak melepaskan
kepenatan sembari berbincang bincang dengan penduduk disekitar perbatasan.
Sebut saja pak Kardi, pria asal Kebumen yang telah menghabiskan sebagian besar
hidupnya di Entikong mengatakan pada saya bahwa sesekali saya memang sempat iri
terhadap apa yang negara tetangga kita miliki. Jalanan yang lebar dan mulus,
pelayanan sosial yang sangat baik, terkadang membuat saya berandai andai untuk
menjadi warga negara Malaysia. Namun beliau dengan cepat menangkis keinginannya
seraya berkata “ AHH BIARLAH HUJAN EMAS DI NEGERI ORANG, SAYA MEMILIH
HUJAN BATU DI NEGERI SENDIRI. Sungguh
pernyataan pak Kardi membuat saya merinding, membuat saya tak mampu menahan air
mata. Romatisme dan semangat Nasionalisme semacam inilah yang bangsa kita
perlukan untuk menjadi negeri yang lebih baik. Pak Kardi seorang pedagang nasi
goreng nampaknya berhasil menghentak kesombongan
saya sebagai petualang. Saya selama ini selalu bercerita akan betapa teraturnya
negeri seberang, saya pun tak sungkan membelikan oleh oleh murahan buatan
negeri seberang dalam setiap perjalanan saya dan masih berani mengaku cinta
Indonesia. Sementara pak Kardi, pria tua sederhana yang kesehariannya selalu
melihat keemasan negeri seberang tak gentar dengan ke-Indonesiaannya.
Mentari sudah
menampakkan batang hidungnya, tanpa malu pun sinarnya memancar ke segala arah,
waktunya saya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Namun sebelum itu saya sempatkan
sejenak untuk melakukan shallat Dluha disebuah surau kecil di dekat perbatasan.
Terucap harap pada yang maha kuasa agar negeri ini memberikan perhatian lebih
bagi pejuang pejuang nasionalisme di negeri ini. Sungguh sebuah
petualangan beribu makna di beranda negeri, terisak tangis dalam nasionalisme
hujan batu di negeri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar