Waktu pun membeku di bantaran Kapuas
Mata ini belum
terbangun benar ketika ku coba raih telpon selular yang berbunyi lantang.
Kesadaran ku pun belum pula genap saat membaca sms dari seorang rekan kerja.
"Mas hari ini dan senin kita off mas". Hari ini adalah hari Jum'at
terakhir di bulan ini. Sontak saya pun terhempas pada kesadaran "it's
gonna be a long weekend then yihaaaaa!. Hampir bisa dipastikan bahwa
sebagian besar perjalanan saya adalah mendadak, begitu juga dengan perjalanan
kali ini. Bergegas saya membuka beberapa situs airlines kesayangan. Dan yup,
saya masih bisa mendapatkan harga "bersahabat" untuk perjalanan saya
kali ini.
Jakarta-Pontianak di terminal 1B ya pak silahkan check in satu
jam sebelumnya. Hmm ..yaa kali ini adalah Pontianak sebagai destinasi saya,
perjalanan ini sudah saya impikan sekian lama. Saya masih ingat saat itu saya
berusia enam tahun, dan ketika itu ayah saya pernah bercerita tentang kota
Pontianak. Beliau sempat berdinas beberapa hari disana dan bahkan membawakan kami
oleh-oleh, sebuah miniatur tugu khatulistiwa. Semenjak itulah saya menyimpan keinginan
untuk bisa mengunjungi tugu equator ini. Tugu equator atau tugu Khatulistiwa merupakan tanda bahwa di tempat tersebut
adalah titik nol garis khatulistiwa, dimana pada bulan bulan Maret dan
September akan terjadi titik kulminasi
matahari, yakni fenomena alam ketik matahari tepat berada di garis
khatulistiwa. Pada saat itulah posisi matahari tepat berada diatas kepala kita
sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda di permukaan bumi. Peristiwa
kulminasi ini akan mengakibatkan bayangan tugu seolah menghilang. Disinilah sekarang saya berada tak lupa saya sempatkan sejenak untuk mengabadikan gambar
saat kedua kaki saya menyentuh garis equator tersebut. Sayangnya
seorang pemandu disana mengatakan “saat ini titik nol khatulistiwa sudah
bergeser beberapa derajat mas, jadi bukan disini lagi”. Uhuuk sontak saya
merasa sedikit kecewa namun tak apalah, yang penting akhirnya saya bisa melihat
sendiri seperti apakah tugu khatulistiwa yang pernah ayah saya ceritakan jauh
saat saya masih kecil dahulu.
Pontianak
sesungguhnya tidak hanya sekedar tuqu khatulistiwa, banyak sekali yang bisa
dikunjungi di ibu kota Kalimantan Barat ini. Sulit rasanya untuk melepaskan
pandangan saya pada bidang luas yang membentang dengan gagahnya. Sungai Kapuas,
ya sungai kapuas yang perkasa menjadi pilihan saya untuk mengantarkan kembali
mentari ke peraduannya hari ini. Sedikit alot tawar menawar saya dengan seorang
pemilik perahu wisata, namun akhirnya kami sepakat juga untuk sejenak
mengantarkan saya menyusuri sungai terpanjang di Indonesia ini. Sungai Kapuas
ini begitu lebar dan panjang, bahkan seorang nelayan yang saya temui sebelumnya
sempat berkata, bahwa ini adalah sungai terpanjang di dunia mas, ujarnya
sembari bergurau ragu dan sesekali melempar kail ke sungai. Tentu saja sungai
Kapuas bukanlah yang terpanjang di dunia, namun jelas yang terpanjang di
Indonesia, sungai ini panjangnya 1.143 KM dan yang terpanjang yang pernah saya
lihat. Kalau saja sungai-sungai di Jawa hanya dilalui kapal-kapal kecil. Di
sungai Kapuas ini kapal kapal besar berbobot mati tonase pun dengan mudahnya
hilir mudik melintas. Tidak terbayang betapa dalamnya sungai ini. Bayangkan betapa
luar biasanya potensi perikanan yang bisa kita gali di Sungai Kapuas.
Di sepanjang
sungai, dapat dengan mudah kita temukan rumah Bentang, rumah asli suku Dayak. Rumah ini umumnya berukuran sangat
panjang dan telah berdiri beberapa generasi. Sungai Kapuas memiliki arti yang
sangat besar bagi masyarakat Kalimantan Barat sebab sungai ini adalah jantung
kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat suku Dayak. Disinilah sebagian besar
aktifitas masyarakat suku Dayak dilakukan. Beberapa ibu terlihat sedang memebersihkan peralatan
dapurnya sementara tak jauh disebelahnya seorang nelayan sedang mencuci jaring
di bibir sungai. Anak anak nelayan dengan beraninya bersampan kecil menyusuri
sungai. Disinilah waktu seolah berhenti. Hiruk pikuk kehidupan kota besar
seolah terpagar dengan rapat oleh damainya kehidupan tradisional.
Perjalanan saya
menjejakkan kaki di bumi equator nampaknya mampu membawa saya sedikit menjamah ketentraman dan
kedamaian hidup layaknya keseharian masyarakat suku Dayak di bantaran sungai
Kapuas. it's amazing how beautiful this simplicity can be…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar