Senin, 16 Juni 2014

Bersua ibu pertiwi di negeri orang.

Anak anak muda di Vietnam tidak jauh berbeda dengan anak anak muda di seluruh dunia. Mereka berlomba lomba menguasai bahasa Inggris guna meningkatkan daya saing. Sebuah hal yang menarik saat saya berkunjung ke Vietnam, saya berjumpa dengan seorang rekan couchsurfer asal Vietnam yang ternyata cukup fasih berbahasa Indonesia. Thinh Duy Quach namanya. Quach, begitu saya biasa memanggilnya ternyata sudah belajar bahasa Indonesia selama lebih satu tahun. Quach menyebutkan bahwa dia suka sekali dengan Indonesia dan suatu saat dia ingin berkunjung ke Indonesia. 


Saat bersama sama dengan yang lain, saya Dung, Dai dan Kanya mendengarkan cerita Quach tentang betapa sulitnya ia mempelajari bahasa Indonesia. Menarik sekali melihat buku buku yang ia pelajari. Contohnya kamus 850 Milyar kata dalam bahasa Indonesia. Jujur, saya saja merasa tidak menguasai sebanyak itu. Quach kemudian resmi menjadi tour quide dadakan kami. Dengan pengalamannya bekerja sebagai tour guide ia bahkan berhasil membawa kami masuk ke sebuah museum tanpa perlu membayar. Siapa sih yang ga suka gratisan lol.


Quach kemudian bercerita bahwa ia memiliki beberapa teman di Indonesia. Ia bahkan dengan bangganya saat itu memakai batik pemberian seorang teman Indonesia. Dia suka sekali Batik, dan sebagai seorang Indonesia saya merasa tertohok. Saya merasa belum cukup ekpresif menunjukkan ke-Indonesiaan saya. Sebagai rasa terimakasih terhadap Quach dan sebagai cara saya untuk memperkenalkan Indonesia, saya menghadiahkannya sebuah "Udeng" topi adat pria khas Bali. Saya berharap topi ini adalah bagian dari affirmasi Quach untuk bisa suatu saat menapakkan kakinya di negeri Indonesia tercinta.

Saya teringat dengan sebuah kalimat bijak bahwa sesungguhnya perjalanan itu bukanlah menjauhkan kita dari rumah, namun sebaliknya, setiap perjalanan akan mendekatkan kita ke hal hal yang kita cintai. Sungguh cara yang unik untuk bertemu ibu pertiwi di negeri orang.





Selasa, 10 Juni 2014

Menjelajah negeri terjajah, Vietnam Part 1

Satu lagi penjelajahan melintasi negeri baru saja saya lakukan beberapa waktu lalu. Kali ini Vietnam adalah negeri yang saya jelajahi. Vietnam, negara kuat yang berhasil mengusir keluar penjajah penjajah kelas wahid. Walaupun perjalanan kali ini hanya melintasi Saigon atau yang saat ini lebih dikenal dengan Ho Chi Minh City dan Hanoi namun saya bersyukur sebab melalui perjalanan ini saya dapat melihat dan merasakan kepedihan yang mungkin tak akan pernah terlupakan oleh seluruh rakyat Vietnam.  Pengembaraan kali ini benar benar merupakan sebuah perjalanan yang menguras emosi.


Di hari pertama penjelajahan saya di kota Saigon saya bertemu dengan dua orang teman baru. Ho Dung dan Mai Hai Dai. Dua anak muda asli Vietnam yang saya kenal lewat situs pertemanan khusus bagi pecinta jalan jalan. Dung dan Dai, menjemput saya dan travelmate saya, Kanya, siang ini dengan dua  sepeda motor. Kanya sedikit shock dengan moda penjemputan seperti ini. Maklumlah yang bersangkutan biasa traveling dengan gaya yang fancy. Kali ini lupain deh tuh AC mobil yang membosankan. Let's ride the bike lol . Bagi saya Tidak ada petualangan yg lebih seru selain merasakan sendiri bagaimana keseharian warga setempat. Termasuk menembus kemacetan lalu lintas yang maha padat dengan mengendarai sepeda motor. Di kota ini ada sekitar sembilan juta orang dengan jumlah motor yang menyentuh angka tujuh juta sepeda motor.Luar biasa bukan?.

Ho Dung, dan Mai Hai Dai adalah mahasiswa tingkat akhir di jurusan akutansi dan tekhnik di sebuah universitas di Saigon, Bersama mereka, kami berkeliling memecah keramaian kota Saigon. Dung bilang pada saya kalau ia ingin menunjukkan keramahan warga lokal yang tentunya berbeda dengan kota kota lain. Diantara jutaan sepeda motor lainnya, kami berhasil menyusuri setiap sudut kota. Setelah kira kira 30 menit perjalanan dengan sepeda motor, kami akhirnya sampai juga di hotel. Hotel yang kami pesan memang terletak tepat di jantung kota Saigon. Hanya beberapa menit saja ke Pasar Ben Tanh yang terkenal itu. Dung kemudian bersikeras mengajak kami berjalan kaki menyusuri beberapa spot menarik di pusat kota Saigon. Ah..mereka memang ramah sekaliKami berjalan kaki menyusuri taman yang berada tepat di depan pasar Ben Tanh. Sebuah taman yang asri dan tertata apik. Tidak tampak pedagang jalanan yang mengotori sisi sisi jalanan. Dengan mudah pula dapat kita temui warga yg sedang melakukan berbagai aktifitas. Mulai dari berolahraga hingga sekedar bertegur sapa. Andaikan Jakarta bisa seperti ini.


Suasana di Saigon sekilas akan membawa kita pada suasana Indonesia dimasa lampau, sekitar era tahun 90an. Sebagai negara yang belum lama mengecap kemerdekaan, nampaknya Vietnam berhasil mengejar ketertinggalannya. Dalam bidang tourisme, Vietnam sangat mengandalkan wisata sejarah sebagai komoditas utamannya. Seperti kita ketahui Vietnam memang pernah berperang melawan beberapa negara penjajah besar di dunia. Sebut saja Perancis dan Amerika. Perancis setidaknya pernah dua kali melakukan pendudukan terhadap Vietnam yaitu tahun 1930 dan 1954. 

Amerika adalah imperialis terakhir yang berhasil ditaklukan pasukan bersenjata Vietnam di tahun 1975. Atas kekhawatiran meluasnya paham komunisme, Amerika mengkhianati hasil perjanjian Geneva yang saat itu memisahkan dua Vietnam menjadi Vietnam Selatan dan Utara. Amerika nampaknya tidak sudi kekuatan partai komunis menguasai negeri ini. Amerika kemudian membuat pemerintahan boneka yang korup di Vietnam Selatan. Perang tersebut menyisakan begitu banyak peninggalan sejarah yang hingga saat ini terpelihara dengan baik hingga berhasil membuat siapapun yang menyaksikannya menjadi larut pada kesedihan, kemarahan dan kekecewaan Seolah tiada jarak antara masa lalu dan saat ini, sejarah itu bagai saya alami sendiri.


.

Protes seorang pendeta Buddha
Photo disamping ini misalnya, photo ini menunjukkan seorang pendeta Buddha yang melakukan aksi bakar diri sebagai upaya protes terhadap ketidak-adilan dan perlakuan diskriminatif oleh pemerintahan boneka yang dibentuk oleh Amerika. Photo ini juga yang menjadi salah satu pemicu terbukanya mata dunia atas penderitaan rakyat Vietnam  photo yang saya ambil dari salah satu ruang di Museum Re-unifikasi Vietnam ini merupakan salah satu dari sekian banyak penggalan sejarah penting yang berhasil meluluh lantakkan hati saya. 

Selain museum reunifikasi coba kunjungi museum perang Vietnam atau war remnants museum . Museum yang terdiri dari 3 lantai ini menawarkan begitu banyak "pertunjukkan" atas ego imperialis yang tidak berperikemanusiaan. "Tontonan" keangkuhan Amerika. Perang yang menyeramkan. Penggunaan senjata kimia beracun menambah parah penderitaan masyarakat Vietnam hingga beberapa generasi.

efek senjata kimia berbahaya



hancur berkeping



Korban senjata kimia berbahaya



conclusion 

Saya kemudian terpancing untuk bertanya pada Dung yang saat itu masih setia menemani. Saya bertanya apakah pernah terbersit dalam hatinya untuk membenci Amerika. Jawaban Dung begitu mengagetkan. Dia bilang, saat itu sudah lama dan saya tidak ingin mempertahankan kesedihan karena kesedihan tidak akan membuat lebih baik,  Dung juga berharap semua orang di Vietnam lebih fokus pada pendidikan. Mendengar jawaba Dung saya hanya berharap suatu saat dunia akan dipimpin oleh orang orang pintar yang pemaaf dan mencintai perdamaian. Dipimpin oleh orang orang yang menjadikan kekerasan sebagai ide yang kuno dan konyol, tidak relevant dalam penyelesaian masalah apapun.