Selasa, 24 Juli 2012

The other side of Singapore

Apa yang terbersit dalam pikiran kamu,  saat saya sebut kata Singapura? apakah Merlion? Universal Studio? atau MRT ? semuanya sih memang benar dan tidak ada yang salah, karena segala hal tersebut memang ada di negeri singa tersebut. Singapura memang negara yang sangat maju, dimana keteraturan adalah hal yang paling terlihat. Saya sendiri kagum terhadap negara ini, kagum atas betapa disiplinnya mereka. Lihat saja kehidupan keseharian mereka. walau sedikit membosankan, namun keteraturan itu paling tidak bisa menjadi refleksi dari kualitas peradaban yang lebih baik.


Singapura tidak hanya tentang Marina Bay Sand, Singapura pun terlalu indah bila hanya dilihat dari sisi modernitas pendukung hidup saja. Saya percaya kalau sebagian besar dari kita pasti sudah pernah berkunjung ke negeri Singa ini, dan saya pun yakin sebagian besar dari kita akan berdecak kagum atas segala hingar bingar dan kemajuan pembangunan disana, namun kali ini saya tidak akan bercerita tentang betapa modernnya negara bekas jajahan Inggris tersebut, laiknya dua sisi mata uang, segala kekaguman saya atas hal-hal baik yang Singapura miliki, ada sisi lain yang mengusik kemanusiaan. mungkinini hanya pendapat subyektif saya saja namun setiap kali saya menyempatkan diri berkunjung ke rumah makan cepat saji, saya terus melihat orang-orang tua yang masih bekerja sebagai pelayan atau bahkan cleaning service. Ketika saya katakan "orang tua" artinya benar benar tua, mereka kira-kira berumur 60 tahun lebih. kebanyakan dari mereka pun sudah terbungkuk-bungkuk.Benak saya pun jumping kesana kemari, mencari tahu alasan dibalik fenomena ini. Dalam benak sederhana saya kemudian timbul pertanyaan tidakkah mereka memiliki keluarga, yang seharusnya mensupport kehidupan orang-orang tua ini.


Sudah semahal ini kah biaya hidup di Singapura hingga nenek-kakek pun harus terus bekerja. Bagi saya ini semua GILA. Pemerintah seharusnya melakukan sesuatu, membatasi usia kerja misalnya, atau memberikan tunjangan hidup bagi warga senior (bukankah mereka negara kaya). Bagi saya ini benar-benar mengusik nilai-nilai kemanusiaan. Bekerja memang hak setiap manusia, namun ada yang tidak benar dengan membiarkan kaum tua seperti mereka masih bekerja sedemikian keras. Akan kalian apakan nilai-nilai kekeluargaan? akan sampai kapan kah mereka bekerja seperti itu? apakah sampai mereka menemui ajalnya? kalo iya, tega sekali kalian. Menurut seorang teman yang lama menetap di Singapura, kunci masalahnya adalah pemerintah yang terus menaikan batas usia produktif, sehingga mempengaruhi batas usia pemberian santunan pensiun. hal inilah yang menyebabkan kaum elderly tersebut harus terus membiayai keluarganya atau paling tidak dirinya sendiri sebab dana pensiun yang semula mereka harapkan tak kunjung diserahkan mengingat ketentuan pemerintah tentang batas usia produktif yang terus berubah. Faktor lainnya yang turut mendukung terjadinya fenomena ini  adalah peningkatan kaum muda potensial yang berebut pekerjaan, dan tentunya menghindari pekerjaaan pekerjaan semacam Janitor dan cleaning service, karena jenis pekerjaan ini pada umumnya tidak dibayar dengan baik.

Bila kelak Indonesia maju seperti Singapura, akan kah hal ini terjadi di negeri kita tercinta. saya sih berharap tidak. Semoga kemajuan di Indonesia tetap diimbangi dengan kelestarian nilai-nilai kekeluargaan. Betapa hambarnya  kemajuan sebuah negara tanpa diikuti senyum dan kesantunan warganya, tanpa ada kasih sayang dan hormat yang tulus yang didasari nilai-nilai kekeluargaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar