Senin, 18 Juni 2012


Refleksi Kerukunan di Kota Lumpia (taken from AFOI)

Stop disini saja pak, seru saya pada seorang supir taxi, loh katanya si mas ini mau ke Ungaran, iya pak tapi saya berubah pikiran, lain kali saja, masalahnya saya hanya punya waktu sedikit di Semarang, lha trus mas-nya ini mau kemana sekarang? mungkin ke Pagoda Cina saja, jauh gak ya dari sini pak? ndak mas itu namanya Vihara Watugong, pake taxi saja, ndak jauh dari sini. Begitulah dialog singkat saya dengan seorang supir taxi, saat saya berkunjung ke Semarang beberapa waktu yang lalu. Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan, akhirnya saya sampai ditujuan.


Dari kejauhan sudah terlihat bangunan tinggi berwarna merah yang memiliki ke-khasan pada atapnya yang berundak-undak. Sesekali terlihat orang yang hilir mudik sambil membakar hio atau dupa. Di sudut lain terlihat seorang nenek yang sedang bersimpuh dihadapan patung Buddha yang letaknya tepat dibawah pohon besar. Wow ini benar benar pemandangan yang tak biasa bagi saya. Ketertarikan saya pada pagoda ini melahirkan banyak sekali pertanyaan tentang akulturasi budaya Jawa dan Cina di Semarang. Ya,semenjak kedatangan saya di Semarang, saya selalu bertanya-tanya tentang betapa kentalnya budaya Cina di kota ini. Beruntung saat itu saya bertemu dengan seorang pengunjung yang sedang beribadah di Vihara Buddhagaya Watugong, menurut pak Hassan, bapak dari dua orang anak yang sering berdoa di sini, Semarang adalah kota di Jawa yang memiliki akulturasi budaya yang paling kental.


Persinggungan masyarakat Jawa dengan Cina telah dimulai sejak kedatangan Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah dunia yang pernah singgah di Semarang sekitar tahun 1400 an. Berawal dari aktifitas perdagangan, kemudian berlanjut pada interaksi sosial dan budaya. Di kota Semarang, setiap sisi kehidupan masyarakatnya memiliki sentuhan Cina, contohnya saja ada sebuah tradisi umat Muslim di bulan Ramadhan yang masih bernafaskan budaya Cina. Tradisi yang dikenal masyarakat Semarang sebagai Dugderan dan warak endok ini biasanya diramaikan dengan pemukulan bedug dan petasan, meriah sekali, ada pawai juga, mirip seperti yang  ada di Bali, bedanya, disini karakter yang diarak merupakan simbolisasi dari gabungan etnis mayoritas di Semarang. Kepalanya yang berbentuk kepala naga tentu saja melambangkan etnis Cina, lehernya yang seperti leher unta merupakan simbolisasi masyarakat keturunan Arab, sementara badannya sendiri yang menyerupai kambing merupakan simbol masyarakat Jawa jelas pak Hassan kepada saya layaknya seorang ahli budaya. Ya, pak Hassan memang mampu menjelaskan dengan begitu gamblang, ia tahu banyak tentang akulturasi di Semarang sebab ia sendiri datang dari keluarga yang sudah mengalami pembauran.

Perjalanan di Vihara Buddhagaya Watugong ini benar benar memperkaya perspektif saya tentang banyak hal, terutama mengenai akulturasi, adaptasi dan amalgamasi yang membentuk keindahan tersendiri. Mendengar cerita pak Hassan, juga mengingatkan saya pada satu babak di sebuah pertunjukan seni drama dan tari yang sempat saya saksikan beberapa waktu yang lalu di negeri tetangga, hanya saja saat ini saya melihatnya sebagai sebuah realitas yang membanggakan, kebanggaan akan kerukunan antar etnis  yang telah lama terjalin di bumi Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar