Selasa, 19 Juni 2012


Waktu pun membeku di bantaran Kapuas


Mata ini belum terbangun benar ketika ku coba raih telpon selular yang berbunyi lantang. Kesadaran ku pun belum pula genap saat membaca sms dari seorang rekan kerja. "Mas hari ini dan senin kita off mas". Hari ini adalah hari Jum'at terakhir di bulan ini. Sontak saya pun terhempas pada kesadaran "it's gonna be a long weekend then yihaaaaa!. Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar perjalanan saya adalah mendadak, begitu juga dengan perjalanan kali ini. Bergegas saya membuka beberapa situs airlines kesayangan. Dan yup, saya masih bisa mendapatkan harga "bersahabat" untuk perjalanan saya kali ini.



Jakarta-Pontianak di terminal 1B ya pak silahkan check in satu jam sebelumnya. Hmm ..yaa kali ini adalah Pontianak sebagai destinasi saya, perjalanan ini sudah saya impikan sekian lama. Saya masih ingat saat itu saya berusia enam tahun, dan ketika itu ayah saya pernah bercerita tentang kota Pontianak. Beliau sempat berdinas beberapa hari disana dan bahkan membawakan kami oleh-oleh, sebuah miniatur tugu khatulistiwa. Semenjak itulah saya menyimpan keinginan untuk bisa mengunjungi tugu equator ini. Tugu equator atau tugu Khatulistiwa merupakan tanda bahwa di tempat tersebut adalah titik nol garis khatulistiwa, dimana pada bulan bulan Maret dan September akan  terjadi titik kulminasi matahari, yakni fenomena alam ketik matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Pada saat itulah posisi matahari tepat berada diatas kepala kita sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda di permukaan bumi. Peristiwa kulminasi ini akan mengakibatkan bayangan tugu seolah menghilang. Disinilah sekarang saya  berada tak lupa saya sempatkan sejenak untuk mengabadikan gambar saat kedua kaki saya menyentuh garis  equator tersebut. Sayangnya seorang pemandu disana mengatakan “saat ini titik nol khatulistiwa sudah bergeser beberapa derajat mas, jadi bukan disini lagi”. Uhuuk sontak saya merasa sedikit kecewa namun tak apalah, yang penting akhirnya saya bisa melihat sendiri seperti apakah tugu khatulistiwa yang pernah ayah saya ceritakan jauh saat saya masih kecil dahulu.



Pontianak sesungguhnya tidak hanya sekedar tuqu khatulistiwa, banyak sekali yang bisa dikunjungi di ibu kota Kalimantan Barat ini. Sulit rasanya untuk melepaskan pandangan saya pada bidang luas yang membentang dengan gagahnya. Sungai Kapuas, ya sungai kapuas yang perkasa menjadi pilihan saya untuk mengantarkan kembali mentari ke peraduannya hari ini. Sedikit alot tawar menawar saya dengan seorang pemilik perahu wisata, namun akhirnya kami sepakat juga untuk sejenak mengantarkan saya menyusuri sungai terpanjang di Indonesia ini. Sungai Kapuas ini begitu lebar dan panjang, bahkan seorang nelayan yang saya temui sebelumnya sempat berkata, bahwa ini adalah sungai terpanjang di dunia mas, ujarnya sembari bergurau ragu dan sesekali melempar kail ke sungai. Tentu saja sungai Kapuas bukanlah yang terpanjang di dunia, namun jelas yang terpanjang di Indonesia, sungai ini panjangnya 1.143 KM dan yang terpanjang yang pernah saya lihat. Kalau saja sungai-sungai di Jawa hanya dilalui kapal-kapal kecil. Di sungai Kapuas ini kapal kapal besar berbobot mati tonase pun dengan mudahnya hilir mudik melintas. Tidak terbayang betapa dalamnya sungai ini. Bayangkan betapa luar biasanya potensi perikanan yang bisa kita gali di Sungai Kapuas. 



Di sepanjang sungai, dapat dengan mudah kita temukan rumah Bentang, rumah asli  suku Dayak. Rumah ini umumnya berukuran sangat panjang dan telah berdiri beberapa generasi. Sungai Kapuas memiliki arti yang sangat besar bagi masyarakat Kalimantan Barat sebab sungai ini adalah jantung kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat suku Dayak. Disinilah sebagian besar aktifitas masyarakat suku Dayak dilakukan.  Beberapa ibu terlihat sedang memebersihkan peralatan dapurnya sementara tak jauh disebelahnya seorang nelayan sedang mencuci jaring di bibir sungai. Anak anak nelayan dengan beraninya bersampan kecil menyusuri sungai. Disinilah waktu seolah berhenti. Hiruk pikuk kehidupan kota besar seolah terpagar dengan rapat oleh damainya kehidupan tradisional.


Perjalanan saya menjejakkan kaki di bumi equator nampaknya mampu membawa saya sedikit menjamah  ketentraman dan kedamaian hidup layaknya keseharian masyarakat suku Dayak di bantaran sungai Kapuas. it's amazing how beautiful this simplicity can be…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar