Selasa, 19 Juni 2012


Thousands steps to Entikong, menyimak nasionalisme hujan batu di negeri sendiri


Lelah seharian berkelana mengelilingi kota Pontianak dan menyusuri Sungai Kapuas, malam harinya saya putuskan untuk mengambil bus malam menuju ke beranda terdepan nusantara kita tercinta. Ya saya putuskan untuk menjejakkan kaki dan menyimak keseharian masyarakat di Entikong. Entikong adalah sebuah daerah terdepan nusantara yang berbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia. Entikong beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan media ibu kota tentunya seputar ketidak harmonisan penduduk di sekitar perbatasan dan masalah caplok mencaplok wilayak kedaulatan. Jarak antara Pontianak ke Entikong sekitar  kurang lebih 300 KM.  Entikong adalah sebuah kota di kabupaten Sanggau, di Kalimantan Barat. Di sinilah Beranda terdepan Nusantara yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia


Berbekal sedikit informasi bahwa Entikong dapat ditempuh dengan menggunakan bus malam, maka tanpa ragu saya pun menghubungi agen tiket bus setempat. Seperti layaknya penumpang lain di bus ini, sebagian besar dari mereka memiliki tujuan akhir ke Kuching di Malaysia. Begitu pun dengan saya namun saya tentunya tidak akan melewatkan begitu saja kesempatan berinteraksi dengan masayarakat lokal disekitar perbatasan. Entah mengapa saya selalu memiliki ketertarikan untuk mengamati tingkah polah masyarakat dimanapun saya berada dalam setiap kesempatan perjalanan saya. Bagi saya perjalanan itu tidak hanya sebuah aktifitas berpergian, namun juga hijrah secara benak dan hati saat melihat banyak sekali hal hal baik yang kita pelajari.


Saat itu waktu menunjukkan pukul 4 pagi, masih terlalu awal untuk bus yang saya tumpangi bisa melintasi perbatasan. Rupanya perbatasan baru akan dibuka sekitar pukul 6 pagi. Tanpa pikir panjang lagi saya pun turun dari bus dan sejenak melepaskan kepenatan sembari berbincang bincang dengan penduduk disekitar perbatasan. Sebut saja pak Kardi, pria asal Kebumen yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Entikong mengatakan pada saya bahwa sesekali saya memang sempat iri terhadap apa yang negara tetangga kita miliki. Jalanan yang lebar dan mulus, pelayanan sosial yang sangat baik, terkadang membuat saya berandai andai untuk menjadi warga negara Malaysia. Namun beliau dengan cepat menangkis keinginannya seraya berkata “ AHH BIARLAH HUJAN EMAS DI NEGERI ORANG, SAYA MEMILIH HUJAN BATU DI NEGERI SENDIRI.  Sungguh pernyataan pak Kardi membuat saya merinding, membuat saya tak mampu menahan air mata. Romatisme dan semangat Nasionalisme semacam inilah yang bangsa kita perlukan untuk menjadi negeri yang lebih baik. Pak Kardi seorang pedagang nasi goreng nampaknya berhasil menghentak kesombongan saya sebagai petualang. Saya selama ini selalu bercerita akan betapa teraturnya negeri seberang, saya pun tak sungkan membelikan oleh oleh murahan buatan negeri seberang dalam setiap perjalanan saya dan masih berani mengaku cinta Indonesia. Sementara pak Kardi, pria tua sederhana yang kesehariannya selalu melihat keemasan negeri seberang tak gentar dengan ke-Indonesiaannya.


Mentari sudah menampakkan batang hidungnya, tanpa malu pun sinarnya memancar ke segala arah, waktunya saya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Namun sebelum itu saya sempatkan sejenak untuk melakukan shallat Dluha disebuah surau kecil di dekat perbatasan. Terucap harap pada yang maha kuasa agar negeri ini memberikan perhatian lebih bagi pejuang pejuang nasionalisme di negeri ini. Sungguh sebuah petualangan beribu makna di beranda negeri, terisak tangis dalam nasionalisme hujan batu di negeri sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar